EPISTIMOLOGI DAKWAH
Oleh: Endar Pratama Sopian
EPISTIMLOGI DAKWAH
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme (pengetahuan ilmiah) + logos (kajian/ teori tentang), epistimologi adalah kajian/ teori tentang asal-usul, anggapan dasar, tabiat, rentang, dan kecermatan (kebenaran, keabsahan, keterandalan) suatu pengetahuan. Epistimologi adalah cabang ilmu Filsafat yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti: darimanakah datangnya pengetahuan, bagaimana ia dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan.
Epistimologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari darimana datangnya pengetahuan tentang dakwah, bagaimana dakwah dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan.
I. Dari Manakah Datangnya Pengetahuan Dakwah?
Dakwah adalah proses mengomunikasikan pesan Islam kepada manusia. Secara lebih oprasional dakwah adalah mengajak atau mendorong manusia pada tujuan yang definitif, yang rumusannya bisa diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Islam adalah agama dakwah yang harus didakwahkan kepada manusia. Nabi Muhammad SAW berpidato pada saat haji wada dengan sangat jelas bagaimana Beliau pada saat-saat akan mengakhiri tugas kenabiannya berpesan agar yang hadir meneruskan pesan Islam kepada yang tidak hadir. “faliyu baligh as syahidu minkum al ghaiba”. Selain itu di dalam ayat-ayat Al-Qur’an juga secara gamblang menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umatnya.
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122:
Yang artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (kemedan perang). Mengapa setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”.
Ayat diats mengabarkan agar ada kelompok muslim yang secara sadar menjadi da’I “propesional”, yakni secara khusus mempersiapkan diri untuk menjadi da’I dan terlebih dahulu mendalami ilmu-ilmu agama (tafaquh fi addin).
Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
Yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia Perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat diatas menerangkan begitu pentingnya berdakwah, karena dakwah dapat menghindarkan diri dari api neraka.
II. Bagaimana Dakwah dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan?
Secara lebih oprasional dakwah adalah mengajak atau mendorong manusia kepada tujuan yang definitif yang rumusannya dapat diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, atau dapat dirumuskan oleh da’I sesuai dengan ruang lingkup dakwahnya.
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 125:
Yang artinya: “suruhlah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bedebatlah dengan mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.
Aya diatas mengabrkan cara berdakwah pada manusia itu berbeda-beda, karena manusia juga berbeda-beda karakteristiknya. Yang pertama, ayat ini menerangkan agar dakwah itu dilakukan dengan pendekatan “ilmiah” (bi al-Hikmah), yaitu kepada kalangan terpelajar; cara yang kedua yaitu dengan pendekatan nasehat yang santun (mau’idzah hasanah) yaitu kepada kalangan awam. Dan yagn ketiga dengan cara pendekatan dialog yang logis (mujadalah al-Ahsan) yaitu kepada kalangan yang sejak semula sudah menolak.
Dalam ayat lain dalam surat An-Nisa ayat 63 Allah juga mengabarkan:
Yang artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang (sesungghnya) Allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya”.
Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 28:
Yang artinya: “dan jika engkau berpaling dari meeka untuk memperoleh rahmat dari Tuhan-mu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut”.
Ayat diats menerangkan agar dakwah kepada masyarakat awam yang hidupnya masih disibukan dengan kebutuhan dasar sehari-hari dianjurkan berdakwahnya itu dengan perkataan yang ringan (Qaulan maisara), yakni perkataan yang mudah diterma, ringan, pantas, tidak berliku-liku dan bersayap, dan tidak perlu argumen yang rumit-rumit. Bagi mereka dakwah dengan bahasa perbuatan itu lebih jelas dibanding pidato ilmiah panjang-panjang, lisan al-hal afsahu min lisan al-maqal. Dakwah dengan qaulan maisura itu adalah dakwah yang lebih menunjukan pakta dibandingkan kata-kata, sedikit bicara banyak bekerja, tanpa dalil tapi efeknya terasa.
Berdakwah kepada penguasa tiran seperti Fir’aun, Al-Qur’an mengajarkan agar dalam berdakwah kepada mereka hendaknya menggunakan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina), karena perkataan yang keras akan langsung berakibat putusnya komunikasi dan da’I tidak lagi memiliki peluang untuk berdakwah, malah boleh jadi langsung masuk penjara. Dakwah dengan qaulan layyina adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan halus, tanpa mengusik atau menyentuh kepekaan perasaan. Watak penguasa tiran, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh orang lain, apalagi oleh pihak yang dinggap oposisi, maka ia segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi pertama.
Berdakwah kepada kalangan orang tua atau yang dituakan, Al-Qur’an mengajarkan agar berdakwah kepada mereka dengan menggunakan perkataan yang mulia (qaulan karima), seperti dalam Qur’an surat Al-Araf ayat 23: Yang artinya “keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menzolimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami trmasuk orang-orang yang rugi”.. Ayat ini merupakan ayat dengan perkataan yang penuh kebijakan, mudah dan lembut, tidak retorik dan tidak pila menggurui. Psikologi orang tua itu merasa banyak pengalaman tetapi fisiknya sudah lemah, oleh karena itu mudah tersinggung oleh perkataan menggurui.
Secara umum dakwah kepada siapapun harus dengan perkataan yang benar (qaulan sadida), harus mengena sasaran, benar substansi, dan benar bahasanya. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 70: Yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Bertqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dakwah adalah usaha meyakinkan kebenaran kepada orang lain. Seorang da’I agar dakwahnya efektif, ia harus seperti minyak wangi, mengharumkan orang lain tetapi dirinya memang lebih harum, atau seperti api, bisa memanaskan besi, tetapi memang dirinya lebih panas. Maka dari itu seorang da’I haruslah terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip dalam berdakwah.
Prinsip-Prinsip Dakwah
Berdakwah itu harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ binafsik) dan kemudian menjadikan kelurganya sebagai contoh bagi masyarakat, qu anfusakum wa ahlikum nara, (QS. 66: 6).
Secara mental da’I harus siap menjadi pewaris para Nabi, yakni mewarisi kejuangan yang beresiko, al’ulama waratsat al anbiya’. Para Nabi juga mengalami kesulitan ketika berdakwah kepada kaumnya meski sudah dilengkapi dengan mu’jizat.
Da’I harus menyadari bahwa masyarakat membutuhkan waktu utntuk dapat memahami pesan dakwah, oleh karena itu dakwah pun harus memperhatikan tahapan-tahapan, sebagaimana dahulu Nabi Muhammad harus melalui tahapan-tahapan.
Da’I juga harus menyelami alam pikiran masyarakat sehingga kebenaran Islam bisa disampaikan dengan menggunakan logika masyarakat, sebagai mana pesan Rasul; “khatib an nas ‘ala qadri ‘uqulihim.
Dalam menghadapi kesulitan da’I harus bersabar, jangan bersedih atas kekafiran masyarakat dan jangan sesak nafas terhadap tipu daya mereka (QS. 16: 127). Sudah menjadi sunatullah bahwa setiap pembawa kbenaran pasti akan dilawan oleh orang kafir, seorang da’I hanya bisa mengajak, sedang yang memberi petunjuk adalah Allah SWT.
Citra positif dakwah akan sangat melancarkan komunikasi dakwah, sebaliknya citra buruk akan membuat semua aktivitas dakwah menjadi kontraproduktif. Cara positif bisa dibangun dengan kesungguhan dan konsistensi dalam waktu lama, tetapi citra butuk dapat terbangun seketika hanya oleh satu kesalahan fatal. Dalam hal ini, keberhasilan membangun komunitas Islam, meski kecil akan sangat efektif untuk berdakwah.
Da’I harus memerhatikan tertib urutan pusat perhatian dakwah, yaitu prioritas pertama berdakwah sehubungan dengan hal-hal yang bersifat universal, yakni al khair (kebajikan), yad’una ila al-khair, baru kepada amr ma’ruf dan baru kemudian nahi munkar (QS. 3: 104). Al-khair adalah kebajikan universal yang datangnya secara normatif dari Tuhan, sepeti keadilan dan kejujuran.sedangkan al-ma’ruf adalah sesuatu yang secara “sosial” dipandang sebagai kepantasan. Sangat tidak produktif berdakwah dengan ramai-ramai membakar tempat maksiat (nahi munkar), tetapi mereka sediri tidak adil dan tidak jujur.
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Dakwah semester IV Jurusan komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI). Bandung, Mei 2008.
My Email: e_pratamasopian@yahoo.co.idadalah ilmu yang mempelajari darimana datangnya pengetahuan tentang dakwah, bagaimana dakwah diumuskan,
Oleh: Endar Pratama Sopian
EPISTIMLOGI DAKWAH
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme (pengetahuan ilmiah) + logos (kajian/ teori tentang), epistimologi adalah kajian/ teori tentang asal-usul, anggapan dasar, tabiat, rentang, dan kecermatan (kebenaran, keabsahan, keterandalan) suatu pengetahuan. Epistimologi adalah cabang ilmu Filsafat yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti: darimanakah datangnya pengetahuan, bagaimana ia dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan.
Epistimologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari darimana datangnya pengetahuan tentang dakwah, bagaimana dakwah dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan.
I. Dari Manakah Datangnya Pengetahuan Dakwah?
Dakwah adalah proses mengomunikasikan pesan Islam kepada manusia. Secara lebih oprasional dakwah adalah mengajak atau mendorong manusia pada tujuan yang definitif, yang rumusannya bisa diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Islam adalah agama dakwah yang harus didakwahkan kepada manusia. Nabi Muhammad SAW berpidato pada saat haji wada dengan sangat jelas bagaimana Beliau pada saat-saat akan mengakhiri tugas kenabiannya berpesan agar yang hadir meneruskan pesan Islam kepada yang tidak hadir. “faliyu baligh as syahidu minkum al ghaiba”. Selain itu di dalam ayat-ayat Al-Qur’an juga secara gamblang menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umatnya.
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122:
Yang artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (kemedan perang). Mengapa setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”.
Ayat diats mengabarkan agar ada kelompok muslim yang secara sadar menjadi da’I “propesional”, yakni secara khusus mempersiapkan diri untuk menjadi da’I dan terlebih dahulu mendalami ilmu-ilmu agama (tafaquh fi addin).
Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
Yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia Perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat diatas menerangkan begitu pentingnya berdakwah, karena dakwah dapat menghindarkan diri dari api neraka.
II. Bagaimana Dakwah dirumuskan, diekspresikan, dan dikomunikasikan?
Secara lebih oprasional dakwah adalah mengajak atau mendorong manusia kepada tujuan yang definitif yang rumusannya dapat diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, atau dapat dirumuskan oleh da’I sesuai dengan ruang lingkup dakwahnya.
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 125:
Yang artinya: “suruhlah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bedebatlah dengan mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.
Aya diatas mengabrkan cara berdakwah pada manusia itu berbeda-beda, karena manusia juga berbeda-beda karakteristiknya. Yang pertama, ayat ini menerangkan agar dakwah itu dilakukan dengan pendekatan “ilmiah” (bi al-Hikmah), yaitu kepada kalangan terpelajar; cara yang kedua yaitu dengan pendekatan nasehat yang santun (mau’idzah hasanah) yaitu kepada kalangan awam. Dan yagn ketiga dengan cara pendekatan dialog yang logis (mujadalah al-Ahsan) yaitu kepada kalangan yang sejak semula sudah menolak.
Dalam ayat lain dalam surat An-Nisa ayat 63 Allah juga mengabarkan:
Yang artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang (sesungghnya) Allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya”.
Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 28:
Yang artinya: “dan jika engkau berpaling dari meeka untuk memperoleh rahmat dari Tuhan-mu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut”.
Ayat diats menerangkan agar dakwah kepada masyarakat awam yang hidupnya masih disibukan dengan kebutuhan dasar sehari-hari dianjurkan berdakwahnya itu dengan perkataan yang ringan (Qaulan maisara), yakni perkataan yang mudah diterma, ringan, pantas, tidak berliku-liku dan bersayap, dan tidak perlu argumen yang rumit-rumit. Bagi mereka dakwah dengan bahasa perbuatan itu lebih jelas dibanding pidato ilmiah panjang-panjang, lisan al-hal afsahu min lisan al-maqal. Dakwah dengan qaulan maisura itu adalah dakwah yang lebih menunjukan pakta dibandingkan kata-kata, sedikit bicara banyak bekerja, tanpa dalil tapi efeknya terasa.
Berdakwah kepada penguasa tiran seperti Fir’aun, Al-Qur’an mengajarkan agar dalam berdakwah kepada mereka hendaknya menggunakan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina), karena perkataan yang keras akan langsung berakibat putusnya komunikasi dan da’I tidak lagi memiliki peluang untuk berdakwah, malah boleh jadi langsung masuk penjara. Dakwah dengan qaulan layyina adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan halus, tanpa mengusik atau menyentuh kepekaan perasaan. Watak penguasa tiran, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh orang lain, apalagi oleh pihak yang dinggap oposisi, maka ia segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi pertama.
Berdakwah kepada kalangan orang tua atau yang dituakan, Al-Qur’an mengajarkan agar berdakwah kepada mereka dengan menggunakan perkataan yang mulia (qaulan karima), seperti dalam Qur’an surat Al-Araf ayat 23: Yang artinya “keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menzolimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami trmasuk orang-orang yang rugi”.. Ayat ini merupakan ayat dengan perkataan yang penuh kebijakan, mudah dan lembut, tidak retorik dan tidak pila menggurui. Psikologi orang tua itu merasa banyak pengalaman tetapi fisiknya sudah lemah, oleh karena itu mudah tersinggung oleh perkataan menggurui.
Secara umum dakwah kepada siapapun harus dengan perkataan yang benar (qaulan sadida), harus mengena sasaran, benar substansi, dan benar bahasanya. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 70: Yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Bertqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dakwah adalah usaha meyakinkan kebenaran kepada orang lain. Seorang da’I agar dakwahnya efektif, ia harus seperti minyak wangi, mengharumkan orang lain tetapi dirinya memang lebih harum, atau seperti api, bisa memanaskan besi, tetapi memang dirinya lebih panas. Maka dari itu seorang da’I haruslah terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip dalam berdakwah.
Prinsip-Prinsip Dakwah
Berdakwah itu harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ binafsik) dan kemudian menjadikan kelurganya sebagai contoh bagi masyarakat, qu anfusakum wa ahlikum nara, (QS. 66: 6).
Secara mental da’I harus siap menjadi pewaris para Nabi, yakni mewarisi kejuangan yang beresiko, al’ulama waratsat al anbiya’. Para Nabi juga mengalami kesulitan ketika berdakwah kepada kaumnya meski sudah dilengkapi dengan mu’jizat.
Da’I harus menyadari bahwa masyarakat membutuhkan waktu utntuk dapat memahami pesan dakwah, oleh karena itu dakwah pun harus memperhatikan tahapan-tahapan, sebagaimana dahulu Nabi Muhammad harus melalui tahapan-tahapan.
Da’I juga harus menyelami alam pikiran masyarakat sehingga kebenaran Islam bisa disampaikan dengan menggunakan logika masyarakat, sebagai mana pesan Rasul; “khatib an nas ‘ala qadri ‘uqulihim.
Dalam menghadapi kesulitan da’I harus bersabar, jangan bersedih atas kekafiran masyarakat dan jangan sesak nafas terhadap tipu daya mereka (QS. 16: 127). Sudah menjadi sunatullah bahwa setiap pembawa kbenaran pasti akan dilawan oleh orang kafir, seorang da’I hanya bisa mengajak, sedang yang memberi petunjuk adalah Allah SWT.
Citra positif dakwah akan sangat melancarkan komunikasi dakwah, sebaliknya citra buruk akan membuat semua aktivitas dakwah menjadi kontraproduktif. Cara positif bisa dibangun dengan kesungguhan dan konsistensi dalam waktu lama, tetapi citra butuk dapat terbangun seketika hanya oleh satu kesalahan fatal. Dalam hal ini, keberhasilan membangun komunitas Islam, meski kecil akan sangat efektif untuk berdakwah.
Da’I harus memerhatikan tertib urutan pusat perhatian dakwah, yaitu prioritas pertama berdakwah sehubungan dengan hal-hal yang bersifat universal, yakni al khair (kebajikan), yad’una ila al-khair, baru kepada amr ma’ruf dan baru kemudian nahi munkar (QS. 3: 104). Al-khair adalah kebajikan universal yang datangnya secara normatif dari Tuhan, sepeti keadilan dan kejujuran.sedangkan al-ma’ruf adalah sesuatu yang secara “sosial” dipandang sebagai kepantasan. Sangat tidak produktif berdakwah dengan ramai-ramai membakar tempat maksiat (nahi munkar), tetapi mereka sediri tidak adil dan tidak jujur.
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Dakwah semester IV Jurusan komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI). Bandung, Mei 2008.
My Email: e_pratamasopian@yahoo.co.idadalah ilmu yang mempelajari darimana datangnya pengetahuan tentang dakwah, bagaimana dakwah diumuskan,
2 komentar:
kpi mana nich
IAIN Metro lampung
Posting Komentar